"Arep ngapa si..." jawabku. "Mengko sore ngarit karo sisan meres susu sapi nang kandang" jawab Sobirin. Tanpa berlama-lama akupun mengiyakan ajakan sahabatku ini. Sobirin adalah salah satu sahabat masa SMEA. Dia salah satu yang paling mengerti kondisiku. Anak kost yang setiap akhir pekan harus pulang karena uang saku pas-pasan kalau tidak mau dikatakan kurang.
Kami berdua keluar dari pelataran SMEA Negeri Purwokerto. Menaiki sepeda motor "Binter Joi" berwarna hitam, melenggang di jalan protokol Purwokerto menuju Karanggude. Rumah sahabatku ini berjarak kira-kira 10 km dari sekolah. Sebuah desa di Kecamatan Karanglewas. Desa di pinggiran kota Purwokerto yang memiliki banyak peternak Sapi Perah.
Seingatku kami selesai sekolah itu jam 13.00 wib. Nggak kayak sekarang yang anak sekolah pulang sudah sore, bahkan sore banget. Era 90an kami begitu menikmati masa-masa sekolah yang memang menyenangkan. Kami menikmati masa perubahan dari mesin analog ke digital. Kami di SMEA belajar mesin ketik dengan metode 10 jari, mata kami ditutup. Tapi kami juga belajar komputer era Under DOS. Pakai disket besar dan kecil yang ketika membuka file gambar muncul di layar patah-patah layaknya mozaik.
Sesampainya di Karanggude kami disambut Ibu. Usianya perkiraanku selisih sekitar 10 - 15 tahun dengan ibuku. "Eh kie Waryanto ya... wis madang urung Yan?" tanya Ibunya Sobirin. "Dereng Yung.... hehehehe..." jawabku malu. "Ya kae madang nang mburi karo Birin" lanjut Ibu sahabatku ini.
Selanjutnya kami ke dapur untuk makan siang. Bagiku sebagai anak kost ini merupakan anugerah. Makan enak... ngga keluar duit... enak lah pokoknya. Apalagi terbayang sore dan besok pagi bisa menikmati susu sapi yang original. Diperas langsung dari Sapi perah milik sahabatku ini. Perbaikan gizi tentunya. Kondisi dimana dirumahpun aku tidak pernah minum susu asli seperti ini.
Sebenarnya sosok Ibu atau aku biasa menyebutnya "biyung" ini memiliki postur hampir sama dengan Nenekku. Bertubuh langsung, tidak terlalu tinggi tetapi sangat cekatan dalam bekerja. Dan tentunya 'grapyak' alias ramah tamah ciri khas orang Banyumas. Tulus ikhlas memberi meski aku hanya tamu tapi tidak dibedakan dengan anaknya sendiri, ini yang membuat jadi berasa dirumah sendiri.
"Ngasar dhisit kae Rin... Yan... ngko gari maring kandang sapi!" suara biyunge nyuruh kami berdua untuk sholat. Tempatnya ngga jauh sebab keluarga Sobirin memiliki "Langgar" atau Mushola di depan rumahnya. Enak ngga perlu jauh-jauh mencari tempat sholat.
Selesai sholat kami berdua lanjut ke kandang sapi. Sobirin mengenakan sepatu boots dan membawa sabit dan juga beberapa peralatan lain. Aku membantu membawa ember yang nantinya dipakai untuk menampung susu Sapi. Lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah. Ada di seberang jalan depan rumah dan dibatasi lahan hijau yang ditanami rumput gajah sepakai pakan sapi.
Ada 4 sapi dalam satu kandang yang diberi sekat dengan ukuran sekitar 2,5 meter persegi per sapi. Hal yang dilakukan pertama oleh Sobirin adalah memandikan sapi dan membersihkan kandang dari kotoran sapi yang lumayan banyak. Kotoran sapi itu langsung diarahkan ke tempat pembuangan kotoran yang nantinya diolah menjadi bio gas.
Setelah selesai membersihkan kandang, lanjut dengan memeras susu Sapi. Ini butuh teknik tersendiri dan skill. Susu sapi dibersihkan, benar-benar bersih agar susu tidak terkontaminasi kotoran. Selanjutnya diberi minyak, konon agar sapi merasa nyaman. Emang kalau tidak nyaman gimana? susunya ngga bisa keluar. Bahkan kalau pekerjaan ini digantikan orang barupun, susu yang keluar akan menurun kuantitasnya.
Nah selanjutnya setelah selesai kami kembali ke rumah. Kami berdua kemudian mengemas susu untuk diantar ke Pabrik Milba yang lokasinya tidak jauh dari Balai Desa Karanggude. Sebelumnya biyunge mengambil 1 gayung susu untuk dimasak. "Mau pakai gula jawa apa murni Yan?" tanya biyunge. "Ngagem gula jawa mawon ben dados Susu Coklat Yung" jawabku.
Kami kemudian berdua naik Binter Joi untuk mengantar susu ke Pabrik. Sekalian jalan sore. Susu kemudian diperiksa kualitasnya. Kalau terlalu banyak mengandung air biasanya ditolak. Setelah selesai kami pulang. Dan di rumah biyunge sudah menyediakan 2 gelas susu berwarna coklat. Hangat, manis dan segar. Sama seperti biyunge yang selalu menyambut hangat anak-anaknya. Melayani dengan sepenuh hati. Tidak pilih kasih dan tentunya tanpa pamrih.
Hari ini Ahad, 28 Januari 2024 biyunge dipanggil Allah. Dan aku tau ternyata sudah dikebumikan. Aku belum sempat melihat kembali setelah lama tidak ketemu. Maafkan anakmu yung... belum sempat bertemu lagi... Sungguh aku bersaksi biyunge orang baik... tulus... Swargi langgeng kagem biyunge...
===
Karanggude, 16 Rajab 1445 H
Anakmu...
No comments:
Write komentar